Oleh: Nanang Suryadi
Pada dunia yang saya sukai dengan cinta keras kepala: sastra, saya mengenal ada pembabakan sejarah sastra Indonesia, ke dalam beberapa angkatan, yaitu: Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45 serta Angkatan 66.
Dalam hal pembabakan sejarah sastra, ada juga penulis sastra yang enggan menuliskannya berdasarkan angkatan, walaupun tetap menyebutkan fakta bahwa adanya sekelompok orang yang memproklamirkan keberadaan sebuah angkatan. Salah seorang penulis sejarah sastra yang enggan menuliskan pembabakan berdasarkan angkatan antara lain Ajip Rosidi (1986), yang menyatakan: dalam pembabakan ini digunakan istilah “periode” dan bukan “angkatan” karena “angkatan” dalam sastra Indonesia sekarang telah menimbulkan kekacauan. Pembedaan antara periode yang satu dengan yang lain berdasarkan adanya perbedaan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing- masing zaman. Sedangkan perbedaan antara angkatan yang satu dengan yang lain sering ditekankan pada adanya perbedaan konsepsi masing-masing angkatan. Dalam suatu periode mungkin saja kita menemukan aktivitas lebih dari satu golongan pengarang yaang mempunyai konsepsi yang berbeda-beda; sedangkan munculnya periode baru tidak pula usah berarti munculnya angkatan baru dengan konsepsi baru. Perbedaan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi suatu zaman, mungkin menimbulkan suasana baru dalam kehidupan sastra tanpa melahirkan konsepsi sastra baru yang dirumuskan oleh seseorang atau sekelompok sastrawan.
Pada tahun 1998 ini, Kusprihyanto Namma, Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo mencetuskan perlunya angkatan terbaru sastra Indonesia, yang ditandai dengan diterbitkannya Tabloid Angkatan. Secara umum keperluan adanya angkatan terbaru sastra Indonesia ini, dapat tertangkap dari sebuah pertanyaan retoris: mengapa tidak ada lagi angkatan sastra setelah angkatan 1966. Jika tidak ada pencetusan angkatan yang lain sesudah angkatan 66 maka dapat dikatakan bahwa sastrawan yang berkarya pada tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an tetap termasuk sebagai bagian dari angkatan 1966.
Setiap angkatan memiliki kredo yang menjabarkan konsepsi yang membedakannya dengan angkatan lain, dan juga memiliki corong yang menyuarakan kehadiran sebuah angkatan. Angkatan Balai Pustaka memiliki konsepsi berdasarkan kebijakan pemerintah Hindia Belanda, seperti dikemukakan oleh Dr. A.Rinkes: “….maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengeetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usahanya itu harus dijauhkan segala yang merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri” (Ajip Rosidi, 1986); Angkatan Pujangga Baru lahir dengan konsepsi yang dikumandangkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam Majalah Poejangga Baroe. Sedangkan angkatan 45 ditandai oleh konsepsi dalam Surat Pernyataan Gelanggang, serta yang tak kalah pentingnya adalah pembelaan oleh HB. Jassin akan keberadaan angkatan ini. Sedangkan angkatan 1966, keberadaannya diproklamirkan oleh HB. Jassin, yang menulis dalam majalah Horison (1966):” khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial dan kemudian protes politik”.
Mengingat kelahiran sebuah angkatan diawali oleh adanya sebuah konsepsi yang membedakan dengan angkatan yang lainnya, maka pertanyaannya adalah: sudah adakah sebuah konsepsi lain yang bisa ditawarkan oleh angkatan terbaru sastra Indonesia?
Ataukah sebenarnya kita tidak perlu repot-repot untuk membuat ‘hanya’ satu buah angkatan terbaru. Mengapa tidak dilakukan saja penulisan buku sejarah sastra Indonesia yang lengkap, yang akan menunjukan perkembangan sastra Indonesia secara komprehensif antara lain dengan memberikan ciri-ciri berdasarkan fakta-fakta empiris yang berkembang sepanjang sejarah sastra Indonesia itu sendiri. Sangat mungkin pada rentang waktu 1966-1998 (32 tahun) tersebut akan ada beberapa angkatan, yang pengelompokannya berdasarkan ciri-ciri atau kecenderungan masing-masing, walaupun mungkin para sastrawan yang berkreasi pada masa itu tidak menyatakan adanya sebuah angkatan pada kalangan mereka. Jadi sebenarnya ini merupakan tugas dari sejarawan sastra. Entahlah lagi, jika ada kepentingan lain, yang mungkin dirasakan beberapa sastrawan akan memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan sastra, misalnya saja, dengan mencetuskan lahirnya sebuah angkatan sastra terbaru, taruhlah kita beri nama: angkatan reformasi, maka akan lahir konsepsi yang akan menjadikan karya-karya sastra pada angkatan tersebut akan menjadi lebih baik atau bermutu dipengaruhi oleh semangat reformasi.
Tapi, apakah adanya sebuah angkatan sastra menjadi hal yang sangat penting saat ini dan apakah jika tanpa legitimasi angkatan maka sebuah karya sastra menjadi tidak sah sebagai karya sastra, dan akan mengurangi mutunya?
Begitulah, perbincangan tentang keberadaan sebuah angkatan terbaru sastra Indonesia tidaklah sekedar sebuah pernyataan setuju atau tidak. Mungkin, yang perlu dilakukan segera, untuk merunut gairah kreativitas sastra, adalah dengan melakukan penulisan sejarah sastra Indonesia yang jujur dan adil. Dan jangan pula lupa dengan penulisan karya sastra serta kritik sastra, yang merupakan tonggak dari segala macam perdebatan ini.
Malang, 1 Nopember 1998